Nama : Santi Setiyowati
Kelas : 3PA11
Tugas : Softskill
Psikoterapi
·
Sejarah Psikoterapi
Pengertian
psikoterapi bila dilihat secara etimologis mempunyai arti sederhana, yakni psyche yang artinya jelas, yaitu mind atau sederhananya: jiwa dan therapy dari Bahasa Yunani yang berarti
“merawat” atau “mengasuh”, sehingga dalam arti sempit adalah perawat terhadap
aspek kejiwaan seseorang. Dalam arti luas psikoterapi adalah pendekatan yang
mempergunakan teknik-teknik psikologik untuk menghadapi ketidakserasian atau
gangguan mental. Pendekatan yang terdapat di dalamnya menggunakan metode-metode
psikologik seperti persuasi, memberi nasihat, mengajarkan sesuatu memberikan
informasi, memberi contoh, memacu imajinasi, dll. Metode-metode tersebut
berkhasiat untuk memodifikasi perilaku, afek dan pikiran. Jadi, metode apa pun
yang menggunakan cara tersebut dapat disebut sebagai psikoterapi. Dalam Oxford English Dictionary, perkataan psychotherapy tidak tercantum, tetapi
ada perkataan psychotherapeutic yang
diartikan sebagai perawatan terhadap sesuatu penyakit dengan mempergunakan
teknik psikologis untuk melakukan intervensi klinis. Sedangkan untuk perawatan
melalui teknik psikoterapi adalah perawatan yang secara umum mempergunakan
intervensi psikis dengan pendekatan psikologikdi atas terhadap pasien yang
mengalami gangguan psikis atau hambatan kepribadian. Psikoterapi juga terbagi
menjadi beberapa jenis antara lain:
a. Menurut
tujuannya
Kriteria ini biasanya dibuat pembagian antara tipe
psikoterapi “supportif” yang dimaksud sebagai dukungan funksi-funksi ego,
psikoterapi “re-edukasinal” yang dimaksud untuk mengubah pola perilaku dengan
meniadakan kebiasaan tertentu dan membentuk kebiasaan yang lebih menguntungkan,
dan psikoterapi “rekonstruktif” yang dimaksud untuk membuat perubahan pada
struktur kepribadian.
b. Menurut
dalamnya
Untuk kriteria ini mengandalkan asumsi, bahwa ada
intervensi terapeutik yang “superfisial” dan ada psikoterapi yang mendalam atau
deep yang menangani hal kejiwaan atau
proses yang terkubur lebih mendalam. Kriteria ini juga sering disambungkan
dengan jangka pendek (superfisial) atau jangka panjang (mendalam) waktu yang
dibutuhkan untuk terapi.
c. Menurut
setting
Dalam kriteria ini ditentukannya setting pada terapi
yang akan dilakukan oleh pasien seperti terapi individual, dalam kelompok, atau
bersama keluarganya.
d. Menurut
teknik mana yang utama diterapkan
Merujuk pada daftar ingredient perubahan kepribadian dari Bergin & Strupp di atas,
dapat dibuat pembagian jenis-jenis psikoterapi menurut teknik pengubahan yang
digunakan : psikotrapi ventilatif, sugestif, ekspresif, psikokartasis, modeling, operant conditioning, asosiasi bebas, dsb.
e. Menurut
konsepsi teoritis tentang motivasi dan perilaku
Dengan kriteria ini dapat diperbedakan antara
psikoterapi behavioral, psikoterapi
kognitif, dan psikoterapi evokatif, analitik, dinamik. Yang behavioral dan kognitif banyak bersandar
pada teori belajar, sedangkan untuk yang evokatif, analitik, dinamik bersandar
pada konsep-konsep psikoanalitik Freud dan pasca-Freud.
f. Menurut
teknik tambahan khusus yang digabung dengan psikoterapi
Contohnya seperti narkoterapi dan hypnoterapi. Ada
pula terapi music, psikodarma, terapi dengan permainan dan peragaan,
psikoterapi religious, dan latihan meditasi.
Berikut
ini akan diuraikan mengenai tujuan dari psikoterapi secara khusus dari dua
metode dan teknik psikoterapi yang banyak diminati, dari dua orang tokoh yakni
:
a. Tujuan
psikoterapi dengan pendekatan psikodinamik menurut Ivey, et al (19987) adalah membuat sesuatu yang tidak sadar
menjadi sesuatu yang disadari. Rekonstruksi kepribadiannya dilakukan terhadap
kejadian-kejadian yang sudah lewat dan menyusun sintesis yang baru dari
konflik-konflik yang lama.
b. Tujuan
psikoterapi dengan pendekatan psikoanalisis menurut Corey (1991) dirumuskan
sebagai, membuat sesuatu yang tidak sadar menjadi sesuatu yang disadari.
Membantu klien dalam menghidupkan kembali pengalaman-pengalaman yang sudah
lewat dan bekerja melalui konflik-konflik yang ditekan melalui pemahaman
intelektual.
·
Aliran Psikologi
a. Gestalt
Frederick Solomon Perls (1893-1970) adalah orang yang
mencetuskansekaligus mengembangkan terapi Gestalt. Gestalt adalah sebuah kata
Jerman yang dapat diterjemahkan sebagai “bentuk”, “wujud”, atau “organisasi”. Kata
tersebut mengandung arti kebulatan, keseluruhan, dan keparipurnaan. Terapi Gestalt
pada dasarnya adalah penanganan perorangan, nemun bisa juga dipergunakan dalam
kelompok dan dalam bentuk lokakarya. Untuk terapi ini yang termasuk pasiennya
adalah mereka yang mengalami hambatan neurosis seperti kecemasan, phobia, dan
depresi. Selain itu, terapi ini juga dianggap efektif untuk menangani pasien
psikosomatik, konflik intrapsikis dan terhadap pasien dengan gangguan yang lebih
mendalam seperti psikosis. Terapi Gestalt ternyata banyak dipakai oleh para
terapis dan menurut Passons (1975), terapi Gestalt merupakan salah satu teknik
terapi yang punya keunggulan tersendiri dalam lapangan kesehatan mental. Terapi
Gestalt bisa dilakukan dengan beberapa teknik, secara singkat adalah sebagai
berikut :
1) Pengalaman
sekarang
Pasien
dibantu agar merasakan atau melakukannya sekarang. Kejadian yang sudah lewat
agar dirasakan sekarang, demikian juga dengan kejadian yang akan dating.
2) Pengarahan langsung
Terhadap
pasien secara terus-menerus diarahkan apa yang harus dilakukan. Apa yang
dikemukakan pasien dipakai sebagai bahan agar terapis secara aktif mengarahkan
proses berpikir pasien, misalnya mengenai kejadian dulu dan ucapan dulu yang
harus diucapkan sekarang.
3) Perubahan
bahasa
Terhadap
pasien didorong agar mengubah pertanyaan-pertanyaan menjadi pernyataan, dengan
keyakinan bahwa kebanyakan pertanyaan adalah pernyataan tentang diri sendiri
yang tersembunyi. Misalnya, apakah anda suka saya? Pada dasarnya pertanyaan ini
adalah pernyataan bahwa saya tidak yakin anda suka saya!
4) Teknik
kursi kosong
Teknik
ini sangat terkenal dan dianggap banyak manfaatnya pada terapi Gestalt. Sering disebut
sebagai teknik latihan atau permainan peran (role-playing). Kalau seorang pasien mengekspresikan ketegangannya
terhadap orang lain, ia diarahkan untuk berbicara dengan oaring lain yang
dibayangkan sedang duduk di kursi kosong di samping atau di depannya. Setelat itu,
terapis meminta pasien untuk berukar tempat duduk dan menjawabnya seolah-olah
ia adalah orang lain tersebut. Terapis mengarahkan pembicaraan antara pasien
dengan tokoh imajiner dengan menukar kursi pada saat-saat kritis. Dengan demikian
pasien akan belajar untuk menyadari dan mengerti perasaannya secara lebih baik.
5) Berbicara dengan bagian dari dirinya
Ini
merupakan variasi dari teknik kursi kosong. Percakapan terjadi antara
bagian-bagian yang ada dalam diri seseorang, misalnya yang menimbulkan konflik.
Atau antara yang harus (top dog)
dengan yang sebaliknya (underdog)
yang pasif dan yang penurut.
b. Behavior
Sebagai salah satu teknik psikoterapi, terapi
perilaku (behavior therapy) pertama
kali dipakai oleh Skinner, Solomon, Lindsley dan Richards pada tahun 1953,
namun setelah itu tidak dipergunakan lagi. Pada tahun 1959, Eysenck secara
terpisah menggunakan terminology ini. Dalam kaitan dengan pengubahan perilaku (behavior modification), terdapat dua
pendapat mengenai terapi perilaku. Sekelompok ahli mengatakan bahwa keduanya pada
dasarnya sama saja (Kanfer & Philips, 1969), namun sekelompok lain
(Lazarus, 1971) mengatakan bahwa terapi perilaku biasanya berhubungan dengan
metode kondisioning yang berlawanan (counterconditioning)
misalnya, desentisasi (pengebalan) sistematik dan latihan asertif, sedangkan
terapi pengubahan perilaku menitikberatkan pada prosedur “aktif” (operant conditioning). Di dalam
perkembangannya, terapi perilaku sebagai metode yang dipakai untuk mengubah
perilaku atau dalam arti umumnya sebagai salah satu teknik psikoterapi, menurut
Corey (1991) terdiri dari tiga tahap :
1) Tahap
pertama adalah tahap kondisioning klasik pada mana perilaku yang baru,
dihasilkan dari individu secara pasif. Tokoh-tokoh pada kelompok ini ialah Skinner,
A. Lazarus, dan Eysenck.
2) Tahap
kedua dalah tahap kondisioning aktif (operant),
di mana perubahan-perubahan di lingkungan yang terjadi akibat sesuatu perilaku,
bisa berfungsi sebagai penguat-ulang (reinfocer)
agar sesuatu perilaku bisa terus diperlihatkan, sehingga kemungkinan perilaku
tersebut akan diperlihatkan terus dan semakin diperkuat. Sebaliknya jika
lingkungan tidak menghasilkan sesuatu penguat-ulang, harapan untuk
memperlihatkan kembali perilakunya berkurang. Tokoh utama pada tahap ini adalah
Skinner.
3) Tahap
ketiga adalah tahap kognitif. Sebagaimana diketahui bahwa munculnya terapi
perilaku dengan ciri-cri khas yang bertentangan dengan pendekatan
psikoanalisis, psikodinamik, mengesampingkan konsep berpikir, konsep sikap dan
konsep nilai. Namun ternyata terjadi perubahan pada sekitar tahun 70-an ketika
peranan berpikir (kognisi) diperhatikan dan ikut berperan, baik dalam proses
pemahaman maupun perlakuan terhadap pasien.
c. Humanistik-Eksistensial
Terapi Humanistik-Eksistensial memusatkan perhatian
pada apa yang dialami pasien pada masa sekarang (“disini dan kini”) dan bukan
pada masa lampau. Terapi ini disebut juga client-centered
therapy atau terapi nondirektif. Terapi nondirektif adalah pasien dan bukan
terapis memimpin atau mengarahkan jalannya terapi. Teknik ini pada awalnya
dipakai oleh Carl Rogers (1902-1987) pada tahun 1942. Carl Rogers berpendapat
bahwa orang-orang memiliki kecenderungan dasar yang mendorong mereka kea rah pertumbuhan
dan pemenuhan diri. Dalam pandangan Rogers, gangguan-gangguan psikologis pada
umunya terjadi karena orang lain menghambat individu dalam perjalanan menuju
kepada aktualisasi diri. Rogers mengemukakan enam syarat dalam proses terapi person-centered yang harus dipenuhi oleh
terapis. Rogers menyatakan bahwa pasien akan mengadakan respon jika :
1) Terapis
menghargai tanggung jawab pasien terhadap tingkah lakunya sendiri
2) Terapis
mengakui bahwa pasien dalam dirinya sendiri memiliki dorongan yang kuat untuk
menggerakkan dirinya ke arah kematangan atau kedewasaan serta independensi, dan
terapis menggunakan kekuatan ini seta bukan usaha-usahanya sendiri
3) Menciptakan
suasana yang hangat dan memberikan kebebasan yang penuh di mana pasien dapat
mengungkapan atau juga tidak mengungkapan apa saja yang diinginkannya
4) Membatasi
tingkah laku terapi bukan sikap, misalnya pasien mungkin mengungkapkan
keinginannya untuk memperpanjang pertemuan melampaui batas waktu yang telah
disetujui, tetapi terapis tetap mempertahankan jadwal semula
5) Terapis
membatasi kegiatannya untuk menunjukkan pemahaman dan penerimaannya terhadap
emosi-emosi yang sedang diungkapkan pasien mungkin dilakukannya dengan
memantulkan kembali dan menjelaskan perasaan-perasaan pasien
6) Terapis
tidak boleh bertanya, menyelidiki, menyalahkan, memberikan penafsiran,
menasihatkan, mengajarkan, membujuk, dan meyakinkan kembali.
d. Psikoanalisis
Dasar dari terapi psikoanalisis adalah konsep dari
Sigmund Freud dan beberapa pengikutnya. Tujuan dari terapi ini adalah
menyadarkan individu dari konflik yang tidak disadari serta defense mechanism yang digunakan untuk
mengendalikan kecemasan. Apabila penyebab kecemasan tersebut telah
diketahui maka hal itu dapat ditangani
dengan cara yang lebih rasional dan realitas. Agar terapi dapat berjalan dengan
efisien maka pertemuan dapat dilakukan dengan pembatasan waktu dan penjadwalan
waktu yang tidak terlalu sering (Atkinson dkk, 1993). Teknik-teknik dalam
psikoanalisis disesuaikan untuk meningkatkan kesadaran, memperoleh pemahaman
intelektual atas tingkah laku pasien, serta untuk memahami makna dari beberapa
gejala. Kemajuan terapeutik diawali dari pembicaraan klien ke arah katarsis,
pemahaman, hal-hal yang tidak disadari, sampai dengan tujuan pemahaman
masalah-masalah intelektual dan emosional. Untuk itu diperlukan teknik dasar
psikoanalisis antara lain asosiasi bebas, penafsiran, analisis mimpi,
resistensi, dan transferensi (Corey, 1995).
Sumber :
Elvira,
Sylvia D. (2005). Kumpulan Makalah
Psikoterapi. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Gunarsa, Singgih D. (2007). Konseling dan Psikoterapi. Jakarta:
Gunung Mulia.
Lubis,
D. Bachtiar & Sylvia D. Elvira. (2005). Penuntun
Wawancara Psikodinamik dan Psikoterapi. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
Semiun, Yustinus. (2006). Kesehatan Mental 3. Yogyakarta: Kansius.
Riyanti, B.P.
Dwi & Hendro Prabowo. (1998). Psikologi
Umum 2. Jakarta: Gunadarma.
Komentar
Posting Komentar